Jatinangor , 09 mei 2020
Jatinangor , fokusberitaindonesia.com-Kecepatan reproduksi covid 19 disebagian negara ibarat berada di etape lintasan marathon. Beberapa mencapai garis finis dan mencoba merelaksasi, sekalipun banyak yang masih tertinggal dan berjuang keras agar tak tumbang karena lelah dan resesi. Amerika dan China memperlihatkan kurva menurun, Italia landai, Jepang dan Korea dinamis, Taiwan dan Vietnam zero, Indonesia relatif menanjak (akhir April 2020).
Disisi lain jumlah infeksi positif covid 19 hampir berbanding lurus dengan tingkat pengangguran sebagai ekses _lockdown._ Dibeberapa wilayah angka yang pulih seperti bergandengan dengan tumbuhnya gejala penyakit sosial, kriminalitas. Residivis hasil asimilasi menjadi momok ditengah himpitan covid 19. Semua masalah itu tentu bukan perkara gampang diatasi, membutuhkan kekuatan, kerelaan, dan sedikit banyak paksaan untuk menerima kebijakan yang tak banyak memberi pilihan kecuali diterima dengan lapang hati. Seumpama pil pahit, ada harapan menyembuhkan sekalipun terasa diawal menyengsarakan.
Ancaman masif covid 19 memang sulit diterka walau banyak ahli Matematika dan Biologi diminta mengukur dan memproyeksi secara akurat. Beberapa lembaga kredibel mencoba memprediksi akhir dari ancaman covid 19, tetap saja kita diliputi keraguan. Lembaga Survei Indonesia (Deny JA,2020) memprediksi kemungkinan covid 19 di Indonesia berakhir Juni-Agustus, namun _Singapore University of Technology and Design_ (SUTD) menyebut baru beres sekitar September 2020.
Fluktuasi kurva covid 19 bergantung sejauhmana keketatan kebijakan dipraktekkan oleh setiap negara. Negara yang _overconfident_ melakukan euforia dan relaksasi dapat kembali ke situasi _abnormal._ Jepang dan China misalnya. Relaksasi tentu bukan tanpa alasan, sebab ancaman berikutnya adalah bahaya kelaparan akibat kelamaan _stay at home._ Kelaparan massal dapat mendorong insting alamiah individu melakukan apa saja agar tetap _survive,_ (Hobbes, 1651). Dalam skala bernegara, bila pemerintah mengambil alih derita kolektif tadi sebagai argumentasi moril atas eksistensi kehadirannya, maka tanggungjawab pemerintah dapat menciptakan kebijakan ekspansif bila gagal membangun kemandirian. Sadar atau tidak imperialisme kini bergerak dalam bentuknya yang paling halus, infiltrasi budaya dan ekonomi.
Bila negara pun cemas terkunci oleh kebijakannya sendiri, apatah lagi warganya. Harus diakui bahwa dorongan individu berkerumun adalah ciri alamiah mahluk sosial. Dapat dipahami mengapa petugas Satpol PP kesulitan menertibkan kehendak orang berkerumun, termasuk Polisi India. Tiga lokasi berkerumun yang sulit dihindari adalah pasar, rumah ibadah, dan lapangan olah raga. Lapar jasmani manusia cenderung ke pasar, dahaga rohani ke rumah ibadah, sisanya menggembirakan diri dengan bersorak di stadion sepak bola. Masalahnya disitu, covid 19 bergelayutan dan berkembangbiak ditengah kerumunan sosial. Ia seperti menemukan media untuk proses pembelahan. Mengurung diri juga bukan tanpa masalah. Kelaparan dan kekerasan domestik boleh jadi meningkat seperti terjadi dibeberapa wilayah India, Malaysia dan China. Belum lagi angka kehamilan sebagai beban fertilitas sebagaimana kasus di Tasikmalaya yang mencapai 105% (kumparan.com).
Sejarawan Peter Carey (2020), pada satu kesempatan mengingatkan kita, bahwa ancaman pasca epidemi dan kelaparan adalah konflik sosial. Konflik memperebutkan sumber daya pada skala makro disebut perang. Bila pelajaran geopolitik klasik memberi kita informasi bahwa krisis pangan disebabkan oleh perubahan cuaca _(climate change)_ yang mendorong migrasi dan kompetisi terhadap sumber daya, maka krisis yang sama dapat terjadi karena resesi ekonomi akibat berhentinya alat produksi, distribusi dan konsumsi. Bila negara kehilangan kemandirian dan terus-menerus bergantung, pada titik tertentu bukan mustahil negara dapat sampai pada situasi semacam itu. Disinilah pemimpin dan kekuasannya diuji. Setidaknya diuji untuk mengontrol ketersediaan dan kelangkaan produksi, distribusi dan konsumsi.
Dalam perspektif _kybernologi,_ kelangkaan produksi jika dibiarkan dapat menciptakan seleksi alam, _struggle for life, survival of the fittest,_ konflik dan ketidakadilan. Kekuasaan diperlukan untuk menjaga sumber produksi agar tetap berjalan stabil. Tanpa kekuasaan, tidak saja produksi, jalur distribusi dan konsumsi dapat terganggu. Kekuasaan memastikan ketiganya benar-benar menetes ke penikmat paling membutuhkan nun jauh di udik. Tugas subkultur kekuasaan di setiap strata memastikan semua itu berjalan normal, bukan membuat panggung masing-masing, apalagi bermaksud memperpanjang ruas kekuasaan. Polemik Bupati Boltim dan Lumajang patut dihindari sekalipun tujuannya baik, sebab bila gajah versus gajah bertikai, resiko pelanduk mati terinjak.
Kekuasaan juga mesti dikontrol. Tanpa peluit ditengah ketakutan epidemi akan menimbulkan _detournement de pouvoir, abuse de troit,_ korupsi, kolusi, nepotisme, penindasan dan kebohongan publik. Kasus surat negara salah _landing_ ke kantor Camat adalah sedikit contoh, selain kartu prakerja yang mengandung rasa penasaran. Hilangnya kontrol sosial akhirnya menciptakan apa yang kita cemaskan, _civil disobedience, civil distrust, anarchi, terrorism,_ perang saudara, dan revolusi. Inilah dampak lanjutan dari krisis pasca pandemik bila pengendali kekuasaan, modal dan _civil socety_ benar-benar tuna kontrol.( sumber/ Red FBI)