Tabloid FBI, Setelah Prabowo Subianto bertemu Megawati Soekarnoputri, pengamat menilai Gerindra paling mungkin mengambil opsi kohabitasi atau yang sering disebut ‘politik kumpul kebo’, yakni masuk ke dalam koalisi pemerintah, tapi tetap berperan sebagai pihak oposisi.
Jika dibandingkan dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang secara gamblang menyatakan diri sebagai oposisi pemerintahan Presiden Joko Widodo pada masa jabatan kedua, Gerindra dipandang lebih ragu-ragu dalam menyatakan sikapnya.
“Menurut saya posisi ragu itu mau mencari peluang. Peluangnya bisa sangat bergantung dengan negosiasi beberapa hari belakangan ini dan ke depan,” tutur pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Aisah Putri Budiatri.
Dia meyakini pertemuan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Megawati Soekarnoputri, dan Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto pada Rabu (24/07) berisi negosiasi politik, di samping silaturahmi perdana kedua tokoh setelah Pemilihan Presiden 2019.
Megawati dan Prabowo memang sempat berbicara empat mata dalam pertemuan yang tertutup untuk media tersebut, kata Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
Namun, Hasto mengatakan tidak mengetahui isi pembicaraan itu.
Selepas pertemuan, Megawati menyiratkan ada pembicaraan yang terkait pemerintahan mendatang.
“Tapi saya bilang (pada Prabowo) bahwa semuanya adalah keputusan nanti presiden terpilih. Karena pada beliau lah sebenarnya hak prerogatif itu ada, bukan pada saya. Kalau menyampaikan usul saran saya bisa sampaikan,” sambungnya
Menurut Aisah, Gerindra memiliki opsi sebagai oposisi murni maupun masuk sepenuhnya dalam koalisi Jokowi, meski kemungkinannya kecil.
Namun, Aisah menyebut ada opsi ketiga yang paling mungkin dilakukan Gerindra yaitu kohabitasi atau yang biasa disebut ‘politik kumpul kebo’, di mana Gerindra masuk dalam koalisi, tapi tetap menjadi oposisi.
Ia menjelaskan istilah kohabitasi sering dipakai negara semipresidensial, di mana presiden dan perdana menterinya berasal dari partai yang tidak menguasai mayoritas parlemen.
Lalu, terbentuklah koalisi yang diisi juga oleh partai oposisi, sebagaimana berlaku di Prancis, Finlandia, dan Polandia.
Dalam skema ini, kader-kader dari Gerindra, kata Aisah, dapat diberikan posisi strategis dalam pemerintahan atau posisi politik, seperti Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
“Jabatan-jabatan penting ini bisa memberikan track record terhadap kinerja politiknya selama lima tahun mendatang dan ini bisa menjadi bekal (Gerindra) untuk Pemilu 2024 nanti,” kata Aisah.
Menurutnya, posisi ini lebih menjanjikan dibandingkan menjadi oposisi murni.
“Posisi oposisi nggak akan selalu menguntungkan partai politik karena ketika dia menjadi oposisi, dia tidak akan punya pengaruh langsung terhadap pembuatan kebijakan dan program-program yang berdampak langsung ke publik,” ujarnya.
Di sisi lain, pemerintahan Jokowi, ujarnya akan teruntungkan karena Gerindra memiliki suara terbanyak kedua di parlemen dan memiliki basis pendukung yang kuat.
Hal itu, ujarnya, akan membuat pemerintahannya dapat berjalan dengan lebih efektif dan pembahasan anggaran di parlemen juga menjadi lebih mudah.
Kader Gerindra Andre Rosiade mengatakan Gerindra belum memutuskan hal tersebut.
“Sepenuhnya keputusan akan diambil Pak Prabowo. Kami semua kader akan tegak lurus bersama Pak Prabowo,” kata Andre.
Pada awal pekan ini, empat pemimpin partai politik yang sebelumnya mendukung Jokowi-Ma’ruf Amin, yakni Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Plt Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa dan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh mengadakan pertemuan di DPP Nasdem.
Mereka menyebut, pertemuan itu dilaksankan untuk menjaga soliditas.
Sementara itu, Megawati menjelaskan alasan ketidakhadiran anggota PDIP pada acara itu.
“Saya memang sedang di luar negeri atau di luar daerah karena kami memang sekarang sedang menggadapi yang namanya rapat kerja daerah untuk penyelenggaraan kongres 8-11 Agustus,” katanya.
Di sisi lain, anggota DPP Nasdem, Irma Suryani, menyatakan ketidaksepakatannya jika kubu Prabowo bergabung di koalisi.
“Kalau semua mau jadi koalisi, yang akan melakukan kontrol siapa? Kalau semuanya mau di dalam (koalisi), ngapain ada kontestasi politik?” tanya Irma.
Pengamat politik LIPI Aisah Putri Budiatri, mengatakan partai-partai koalisi pasti “ramai” ketika Gerindra memutuskan bergabung dengan koalisi.
Hal itu, ujarnya, wajar karena partai-partai itu sudah ‘berkeringat dan berdarah’ memperjuangkan kemenangan Jokowi.
“Bagaimanapun kuncinya Jokowi sendiri, yang memiliki hak prerogatif untuk membentuk kabinet, dan PDIP sebagai partai pengusung utama,” ujarnya.
Sementara itu, sekutu Gerindra, PKS, belum memutuskan secara resmi arah politik mereka, tapi sejumlah kadernya menyiratkan partai itu akan bersetia pada posisi oposisi.
“Sikap resmi PKS terkait soal itu masih menunggu keputusan sidang Majelis Syuro PKS. Walaupun saat ini di internal PKS banyak yg menginginkan PKS menjadi oposisi,” ujar anggota DPP PKS, Suhud Aliyudin.
Ia menambahkan PKS memandang pertemuan Prabowo dan Megawati sebagai silaturahmi biasa yang tidak perlu ditafsirkan macam-macam.
“Setelah koalisi Pilpres 2019 dibubarkan, maka masing-masing partai peserta koalisi bebas menentukan sikap politik masing-masing,” pungkas Suhud.